SOLOPOS.COM - Ilustrasi pemanasan global (environment-indonesia.com/)

Solopos.com, JAKARTA-Upaya pemerintah memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) terus dilakukan. Salah satu caranya adalah memperbanyak pemakaian limbah biomassa sebagai campuran bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Metode co-firing PLTU ini diharapkan mampu mengakselerasi transisi energi di Indonesia.

Penggunaan teknologi co-firing menegaskan komitmen Indonesia untuk mempercepat target net zero emission (NZE) pada 2060. Mengingat PLTU merupakan salah satu penyumbang emisi karbondioksida (CO2) terbesar.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Dalam hal penggunaan biomassa dengan teknologi co-firing, PLN melalui anak perusahaannya PT Energi Primer Indonesia (EPI) terus memastikan pasokan biomassa untuk PLTU di sejumlah daerah aman.

Seperti dikutip dari laman PLN, Direktur Utama PT PLN EPI Iwan Agung Firstantara mengatakan, pihaknya menargetkan dapat menyuplai biomassa sebanyak 10,2 juta ton untuk 52 PLTU pada 2025.

Namun, saat ini pemanfaatan biomassa masih tergolong rendah di Indonesia. Pada 2022, PLN menyuplai 0,45 juta ton biomassa untuk 35 PLTU di Indonesia. Sedangkan pada tahun ini, suplai biomassa ditargetkan mencapai 1,05 juta ton untuk 47 PLTU.

“Tidak mudah meningkatkan pasokan biomassa. Pasalnya, stok biomassa dari Indonesia juga menjadi rebutan dengan negara lain,” kata Iwan Agung, beberapa waktu lalu, dikutip dari Indonesia.go.id.

Lebih lanjut, Antonius Aris Sudjatmiko, Direktur Biomassa PLN EPI, menambahkan bahwa pada 2023 ini seluruh kebutuhan bahan baku biomassa seperti sekam padi, cangkang sawit, dan lain-lain diperoleh langsung dari masyarakat. Stok diambil dari kelompok petani, UMKM sektor pertanian atau perkebunan.

Mulai 2024, PLN EPI juga akan bekerja sama dengan Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), beberapa perusahaan perkebunan, dan pertanian swasta untuk mendorong peningkatan suplai bahan baku biomassa. Untuk itu, PLN EPI memastikan kualitas bahan baku biomassa yang diperoleh perusahaan tersebut benar-benar terjaga. Pasalnya, PLN EPI melarang produk biomassa yang berasal dari hasil deforestasi.

PLN EPI optimistis, pengembangan biomassa untuk PLTU akan memangkas emisi karbon di tanah air. Pada tahun ini, misalnya, dengan adanya tambahan suplai biomassa 1,05 juta ton, maka potensi reduksi emisi yang diperoleh, yakni sebanyak 0,86 juta ton CO2.

Adapun sampai 2025, dengan pasokan 10,20 juta ton biomassa akan berdampak pada pengurangan emisi sebanyak 11,58 juta ton CO2. Pola kerja sama dari hulu ke hilir seperti ini diharapkan memberikan efek berganda tak hanya bagi perusahaan dan juga holding tetapi juga untuk masyarakat.

Dengan terjaminnya pasokan energi primer, maka operasional pembangkit menjadi lebih aman dan mampu mengalirkan listrik yang andal untuk masyarakat.

 

SNI Limbah Biomassa

Satu hal, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengungkapkan, teknologi co-firing memanfaatkan biomassa sebagai substitusi parsial batu bara untuk dibakar di boiler pembangkit listrik.

Apalagi biomassa ini dapat diperoleh dari beragam bahan baku, seperti limbah hutan, perkebunan, atau pertanian. “Pemanfaatan limbah biomassa dapat mengurangi emisi metana yang disebabkan oleh degradasi limbah biomassa itu sendiri,” ujar Dirjen Minerba.

Demi meningkatkan akses pasar dan kualitas produk, pemerintah serius merampungkan standar nasional Indonesia (SNI) pelet biomassa untuk pembangkit listrik. “Cangkang sawit, serbuk gergaji, dan serpihan kayu masih dalam proses di Badan Standardisasi Nasional/BSN untuk ditetapkan sebagai SNI,” imbuh Ridwan Djamaluddin.

Sementara itu, tekad pemerintah mengoptimalkan pemanfaatan co-firing biomassa mempertimbangkan hasil pemetaan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM. Di mana kajian tersebut menyatakan, potensi biomassa di Indonesia untuk bahan baku co-firing cukup menjanjikan.

Data menunjukkan, limbah dari hutan memiliki potensi sebesar 991 ribu ton (eksisting), serbuk gergaji 2,4 juta ton, serpihan katu 789 ribu ton, cangkang sawit 12,8 juta ton, sekam padi 10 juta ton, tandan buah kosong 47,1 juta ton, dan sampah rumah tangga 68,5 juta ton.

Meski demikian, implementasi co-firing biomassa pada PLTU memiliki tantangan berat. Salah satu kendalanya adalah munculnya berbagai masalah teknis pada boiler pembangkit listrik dan feeding equipment yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik batu bara dan biomassa.

Guna mengatasi hal tersebut, Pusat Pengujian Mineral dan Batubara Kementerian ESDM punya visi untuk mengatasi tantangan ini dengan mengintegrasikan co-firing biomassa dengan teknologi pirolisis yang mampu menghasilkan arang biomassa yang memiliki karakteristik hampir sama dengan batu bara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya