SOLOPOS.COM - Danau Toba (dok)

Solopos.com, SOLO-Keindahan Danau Toba tidak ada habisnya untuk dikupas. Dilihat dari sudut mana pun, pemandangan hamparan air danau berpadu lanskap perbukitan hijau nan asri memberi kesan tersendiri bagi siapa saja yang mengunjunginya. Panorama menawan dari sepotong surga di Sumatra Utara itu bakal membuat siapa pun terpukau dan jatuh hati dibuatnya.

Danau ini awalnya merupakan kawah vulkanik hasil letusan mahadahsyat dari Gunung Toba pada 74.000 tahun lampau. Berukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer serta titik terdalamnya mencapai 508 meter menjadikan Danau Toba sebagai danau kaldera terbesar di dunia.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Berada di ketinggian 905 meter di atas permukaan laut (mdpl), membuat udara di area Danau Toba sangat sejuk. Danau itu merupakan muara bagi sekitar 289 sungai besar dan kecil. Dari angka itu, sebanyak 57 di antaranya mengalirkan air secara tetap, dan sisanya merupakan sungai musiman.

Alhasil, Danau Toba dapat menyimpan cadangan air tawar sebagai bahan baku air minum untuk masyarakat setempat. Hal unik dari Danau Toba ini terletak pada proses pembentukannya di mana ada empat kaldera yang terbentuk susul menyusul selama 1,2 juta tahun terakhir, seperti dikutip dari Indonesia.go.id.

Erupsi pertama dari gunung purba Toba seperti dikutip dari National Geographic diketahui telah membentuk Kaldera Haranggaol seluas 35 kilometer persegi dan terjadi pada masa 1,2 juta tahun lampau. Para ahli geologi dunia yang bertahun-tahun meneliti Toba menyingkap bahwa tufa atau lapisan batuan yang terbentuk disepakati sebagai Haranggaol Dacite Tuff.

Selanjutnya terbentuk Kaldera Porsea hasil erupsi sekitar 840.000 tahun lampau dan memuntahkan material vulkanik sebanyak 500 kilometer kubik.

Inilah lapisan tufa tertua Toba atau dikenal sebagai Oldest Toba Tuff yang berusia 840.000 tahun. Kemudian aktivitas erupsi terjadi lagi di bagian utara Toba sekitar 500.000 tahun lalu dan memuntahkan 60 km kubik material erupsi.

Diperkirakan, erupsi ini berasal dari kaldera sama yang menghasilkan Tufa Haranggaol dan para ahli sepakat untuk menamakannya sebagai Middle Toba Tuff. Puncaknya terjadi pada 74.000 tahun lalu, ketika Gunung Toba mengalami erupsi raksasa dengan memuntahkan tufa lebih muda yaitu Youngest Toba Tuff. Sekitar 2.800 km kubik material erupsi dimuntahkan dari perut gunung api purba Toba.

Erupsi terakhir ini memacu keruntuhan struktur yang mengakibatkan amblasnya kubah di atas magma dan menjadi letusan paling besar yang pernah terjadi di muka bumi dalam dua juta tahun terakhir. Runtuhan inilah yang menciptakan kaldera raksasa yang kita lihat sebagai Danau Toba saat ini.

Studi terbaru dari The Institute for Geoscience Research pada 2020 mengungkapkan, kekuatan megaerupsinya mencapai 8 Volcanic Explosivity Index (VEI). Padahal, letusan Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada 1815 silam sudah menghasilkan 7 VEI. Dahsyatnya letusan Gunung Toba turut memunculkan kerucut vulkanik berwujud Pulau Samosir.

Pulau Samosir sebelumnya merupakan dasar danau yang kemudian terangkat ke permukaan akibat adanya aktivitas geo-volkanologi resurgent doming. Yaitu suatu pengangkatan dasar kawah atau kaldera sebagai akibat dari desakan magma dalam proses pencapaian kesetimbangan baru pascaerupsi.

Pulau ini mempunyai danau seluas 5 hektare bernama Danau Sidihoni. Danau di atas danau ini terbentuk karena adanya pergerakan geodinamika dari Sesar Sumatra yang bersinggungan dengan Pulau Samosir.

Geolog dunia dari Rutgers University-New Brunswick, Benjamin Black mengutarakan, megaerupsi Gunung Toba kala itu nyaris melenyapkan populasi manusia purba di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara karena ada jutaan ton asam belerang beracun dimuntahkan dari perut gunung.

Abu vulkaniknya menyebar hingga jarak 9.000 kilometer. Partikel abu erupsi gunung api purba itu diketahui sampai ke selatan Afrika dan Amerika Serikat. Letusan super itu telah menyebabkan perubahan iklim parah di banyak wilayah seperti penurunan curah hujan secara besar-besaran di selatan Afrika dan India.

Termasuk terjadinya penurunan suhu udara sebesar 4 derajat di sebagian Amerika Utara, Eropa, dan Asia selama satu tahun. Abu erupsi juga telah menyebabkan penurunan kualitas perkembangan spesies manusia purba hominid di tanah Afrika. Tetapi bagaimanapun kita sebagai bangsa Indonesia tetap harus bangga karena inilah danau kaldera terbesar di dunia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya