SOLOPOS.COM - Ilustrasi cuaca hujan. (Freepik.com)

Solopos.com, JAKARTA-Polusi parah udara Jakarta masih menjadi topik nasional. Selain membahayakan lingkungan, polusi udara juga membahayakan manusia.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi polusi udara tersebut, salah satunya dengan hujan buatan. Dengan hujan buatan seperti di di Jakarta ini, tentu semuanya mengharapkan adanya manfaat atas masalah yang sedang dihadapi.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Bagaimana hujan buatan yang merupakan bagian dari Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) tersebut dan manfaatnya, berikut ini penjelasannnya.

Dikutip dari laman BRIN atau Badan Riset dan Inovasi Nasional, TMC bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak 1977, proyek yang dulu lebih dikenal dengan istilah hujan buatan itu sudah dimulai.

Ide itu muncul, saat Presiden Soeharto melihat pertanian di negara Thailand cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena supply kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.

“Berawal dari itu, Presiden Soeharto mengutus Pak Habibie untuk mempelajari TMC ini, kemudian tahun 77 dimulai proyek percobaan hujan buatan yang waktu itu masih didampingi asistensi dari Thailand. Jadi memang awalnya dulu TMC ini dipelajari di Thailand dan diaplikasikan di Indonesia fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi,” jelas Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN, Budi Harsoyo.

Ia menyebutkan setelah melakukan percobaan hujan buatan 1977, baru tahun 1978 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri dan proyek hujan buatan saat itu berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA). Tahun 1985 berdiri UPT Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT No 342/KA/BPPT/XII/1985.

Lalu 2015 mulai dikenal istilah TMC sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT No 10 Tahun 2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.

“Pada 2021 setelah terintegrasi ke BRIN, kini pelayanan TMC berada di Laboratorium Pengelolaan TMC di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi,” imbuhnya.

Dijelaskan Harsoyo, dalam satu dekade terakhir, frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat, baik kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir. Sehingga pengaplikasian TMC berkembang untuk memitigasi bencana. “Saat ini TMC paling banyak dan rutin digunakan untuk kebutuhan kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun dilakukan. Bahkan Thailand yang dulu kita pelajari, sekarang justru belajar operasi TMC dari Indonesia terutama untuk kebutuhan mitigasi bencana, karena memang kita ini berkembang dalam operasionalnya,” ungkap Budi Harsoyo.

Tren permintaan TMC kemudian meluas sesuai kebutuhan, seperti penanggulangan kebakaran hutan dan pembasahan lahan gambut, penangulangan banjir dan pengurangan curah hujan ekstrem, hingga pengamanan infrastruktur dan acara besar kenegaraan.

Pertama kali, operasi TMC yang bertujuan untuk mengurangi curah hujan diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang 2011, kemudian dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta tahun 2013, 2014, dan 2020, Moto GP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G20 2022.

TMC hujan buatan ini juga dilakukan untuk mengatasi persoalan polusi udara Jakarta. Dikutip dari Bisnis, modifikasi cuaca yang dilakukan di Jakarta untuk mengatasi polusi udara, dan berdasarkan masukan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Modifikasi cuaca sudah dilakukan 19-21 Agustus 2023. Lebih lanjut, berdasarkan prediksi BMKG, saat itu ada potensi hujan antara 19-21 Agustus 2023 di wilayah Jabodetabek, meski peluangnya hanya 50-70 persen. Modifikasi cuaca Jakarta mulai dilakukan dari lokasi posko Lanud Husein Sastranegara Bandung.

Adapun modifikasi cuaca dilakukan dengan pesawat CASA 212 dengan nomor registrasi A-2108 pada Minggu (20/8/2023).  “Penerbangan sorti 1 dilakukan pada pukul 13.00-14.50 WIB dengan target penyemaian di Jakarta Selatan, Jakarta, Barat, Tangerang Selatan, Tangerang, Kabupaten Bogor yang dilakukan pada ketinggian 10.000 feet dengan menghabiskan bahan semai NaCl sebanyak 800 kg,” mengutip laporan.  Sementara, untuk sorti 2 dilakukan pada pukul 15.00-16.50 WIB pada ketinggian 10.000 kaki dengan menghabiskan bahan semai NaCl sebanyak 800 kg.  “Target penyemaian di Kabupaten Bogor bagian Timur, Depok, Jakarta Selatan, Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor bagi Barat (Parung Panjang),” ujar Budi Harsoyo.

Dikutip dari Antara, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam Disaster

Briefing diikuti daring di Jakarta, Senin (21/8/2023), mengatakan TMC dilakukan di tanggal 19-21 Agustus.

“Ada fase tertentu di mana minimal konsentrasi awan itu 30 persen, cukup untuk membuat hujan buatan. BNPB bersama BMKG, BRIN, dan TNI-Polri, kami sudah mulai melakukan TMC,” ujar Abdul.

Pelaksanaan TMC untuk membilas polusi udara tidak hanya di Kota Jakarta, namun juga Bandung, Semarang dan beberapa kota lainnya. BNPB mengharapkan dalam 2-3 hari ke depan terdapat awan yang memungkinkan untuk prosedur tersebut.

Abdul menjelaskan bahwa kadar polusi saat ini lebih kurang sama saat musim hujan yang lalu terjadi. Terlebih saat pandemi Covid-19 dinyatakan selesai.

Namun di awal tahun tidak terlalu terasa polusinya, sebab terbilas oleh hujan. Frekuensi hujan membuat partikel debu dan polutan selalu terbilas.

Sehingga TMC dilakukan sebagai langkah penanganan dalam fase kedaruratan. Namun Abdul memastikan ada kebijakan jangka panjang yang akan dilaksanakan untuk menangani buruknya kualitas udara.

“Saat ini kami fokus dulu untuk untuk penanganan jangka pendek yang bisa kita lakukan. Sehingga paling tidak sampai kemarau ini, ya kalaupun tidak kan tiap hari minimalnya 2-3 kali sepekan hujaannya bisa turun untuk kembali nge-flushing (membilas),” kata dia.

Dikutip dari Rimbakita, secara garis besar, hujan buatan adalah suatu upaya untuk membuat percepatan proses fisika yang terjadi di awan demi terbentuknya hujan seperti pada umumnya.

Syarat utama untuk membuat hujan semacam ini adalah ketersediaan awan yang telah terbentuk secara alami. Awan tersebut juga harus mengandung cukup air untuk digunakan sebagai calon awan pembuat hujan buatan.

Tidak hanya awan, hujan semacam ini juga dipengaruhi oleh faktor kecepatan angin dan kondisi cuaca yang mendukung.

 

Proses Hujan Buatan

Pembuatan hujan secara sengaja biasanya dilakukan dengan cara menaburkan bahan-bahan kimia tertentu. Hal ini bertujuan untuk memengaruhi pembentukan awan menggunakan zat glasiogenik, salah satunya adalah Argentium iodide atau perak iodide.

Penaburan bahan-bahan kimia semacam ini dilakukan pada ketinggian sekitar 4.000 sampai 7.000 kaki dengan memperhitungkan beberapa faktor, mulai dari arah angin dan kecepatan angin yang akan membawa awan ke wilayah tempat terjadinya hujan buatan tersebut.

Selain bahan kimia berupa zat glasiogenik, ada juga zat kimia lain yang turut ditaburkan berupa zat higroskopis yang berperan untuk menggabungkan butir-butir air di awan.

Zat higroskopis antara lain berupa urea, NaCl, dan CaCl2. Bahan-bahan kimia ini (kecuali urea) kemudian ditaburkan ke awan dengan menggunakan pesawat terbang. Setelah ditaburkan, bahan-bahan tersebut akan bekerja dengan cara memengaruhi awan untuk berkondensasi. Alhasil, awan yang lebih besar akan terbentuk dan mempercepat proses terjadinya hujan.

Beberapa jam setelah bahan-bahan kimia tersebut ditaburkan, selanjutnya bubuk urea akan ditaburkan secara merata. Seperti bahan kimia lain, bubuk urea ini berfungsi untuk membantu awan membentuk sekaligus menggabungkan kelompok-kelompok awan kecil untuk membentuk jenis awan yang lebih besar dan berwarna abu-abu. Awan besar berwarna abu-abu ini yang dinamakan awan hujan.

Setelah awan hujan terbentuk dengan sempurna, bahan kimia kembali ditaburkan ke awan tersebut dalam bentuk larutan khusus. Komposisi larutan tersebut terdiri dari urea, air, dan ammonium nitrat dengan perbandingan 3:4:1.



Larutan inilah yang berfungsi untuk mendorong awan hujan supaya terbentuk butiran air dengan ukuran lebih besar. Sebab butiran air berukuran besar ini yang mampu menciptakan hujan pada awan.

Selain menggunakan pesawat untuk menaburkan bahan kimia pembuat hujan, alternatif lainnya adalah menggunakan Ground Base Generator. Cara kerja alat ini dengan mengemas bahan-bahan kimia yang dibutuhkan dalam bentuk flare, lalu dibakar pada ketinggian tertentu.

Waktu proses membuat hujan menggunakan Ground Base Generator ini hampir sama dengan menggunakan pesawat. Perbedaannya hanya ada pada proses penaburannya.

Ground Base Generator juga memanfaatkan topografi dan angin lembah yang berembus pada siang hari di wilayah target. Proses ini juga mengikuti kemiringan permukaan gunung untuk proses penaburan. Biasanya, Ground Base Generator digunakan pada wilayah dengan garis lintang menengah dan tinggi serta memiliki suhu di bawah titik beku atau di bawah 0o C.

 

Dampak Positif dan Negatif

Bukan hanya berdampak positif bagi lingkungan, ternyata hujan semacam ini juga memiliki dampak negatif yang cukup merugikan. Berikut penjelasannya mengenai keuntungan dan kerugian jika rekayasa hujan buatan dilakukan, antara lain:

 

  1. Manfaat/Dampak Positif

Tak bisa dipungkiri, hujan buatan akan memberikan sejumlah keuntungan yang bermanfaat seperti halnya fungsi air hujan pada umumnya. Apalagi untuk wilayah yang sedang mengalami musim kemarau atau bencana kekeringan yang tidak mengalami hujan dalam jangka waktu lama. Manfaat hujan secara buatan antara lain:

Mampu mengatasi kondisi kekurangan air di suatu wilayah yang sedang mengalami kekeringan.



Menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah kabut asap akibat kebakaran hutan.

Bisa dimanfaatkan untuk memadamkan api pada kebakaran hutan dengan cakupan wilayah yang sangat luas dengan api tergolong besar.

Membantu mengisi air waduk atau segala jenis danau yang sering dimanfaatkan untuk kebutuhan irigasi, ketersediaan air bersih, hingga pembangkit listrik tenaga air.

 

  1. Dampak Negatif

Meski memiliki banyak dampak positif bagi lingkungan, hujan yang dibuat secara sengaja juga membawa dampak negatif yang cukup merugikan bagi makhluk hidup yang berada di sekitar wilayah guyuran hujan tersebut.

Berikut ini beberapa kerugian akibat hujan buatan yang sulit dihindarkan, antara lain:

Hujan buatan terbuat dari campuran beberapa bahan kimia khusus yang justru berisiko memicu terjadinya hujan asam. Hujan asam adalah jenis hujan yang sangat berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan alam.

Menyebabkan terjadinya pencemaran tanah. Sebab, proses penaburan garam dalam jumlah terlalu tinggi dapat menimbulkan hujan yang sifatnya asin. Bahkan, lapisan tanah yang terkena guyuran air hujan ini turut menjadi asin sehingga menyebabkan lahan pertanian rusak atau gagal panen.

Hujan buatan bisa menjadi penyebab utama terjadinya banjir, apabila hujan yang terjadi tidak tepat sasaran.



Menyebabkan terjadinya pemanasan global yang semakin parah di bumi.

Hujan buatan memengaruhi atau bahkan dapat mengubah siklus hidrologi yang akan membahayakan pasokan atau cadangan air tanah saat musim kemarau.

Menciptakan kerugian materi yang sangat besar, terutama jika hujan yang turun tidak sesuai dengan target awalnya. Kerugian ini bisa berupa materi yang dikeluarkan untuk melakukan proses hujan buatan dan juga dampak saat hujan salah sasaran tersebut mengguyur.

Demikian informasi seputar hujan buatan seperti yang dilakukan di Jakarta.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya