Teknologi
Rabu, 4 Desember 2013 - 06:35 WIB

Kemenristek Kembangkan Sel Surya dengan Pewarna

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi (istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) mengembangkan penelitian teknologi pemanfaatan energi matahari menjadi energi listrik melalui sel surya berbasis pewarna alami. Untuk mendukung penelitian tersebut, Kemenristek menggelar konsorsium bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPIS) dan sejumlah perguruan tinggi negeri di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Selasa (3/12/2013).

Kepala Bidang Riset Iptek Energi dan Material Maju Kemenristek, Syaifudin, mengatakan potensi sumber energi matahari di Indonesia cukup tinggi lantaran dilalui garis khatulistiwa. Rata-rata sumber energi matahari mencapai 4.800 watt hour per meter persegi per hari.

Advertisement

Sedangkan wilayah Bogor dengan curah hujan cukup tinggi rata-rata energi matahari 2.500 Wh/m2 sementara wilayah Irian Jaya mencapai 5.700 Wh/m2.

“Kalau semua energi matahari bisa diserap akan menghasilkan energi yang luar biasa untuk pemenuhan energi dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya kepada wartawan di sela-sela konsorsium dan Launcing Group Riset Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) di Rektorat UNS, Selasa.

Sumber bahan baku dalam proses DSSC memanfaatkan logam titanium yang punya sifat menangkap energi matahari. Namun, logam tersebut harus dicampur pewarna agar sinar matahari terjebak dan menghasilkan arus energi.

Advertisement

“Saat ini teknologi sel surya berbasis silikon tapi cukup mahal, yang lebih murah dengan titanuim yang akan mengalirkan arus energi yang sudah terserap,” imbuh Syaifudin.
Peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UNS, Agus Supriyanto, menambahkan pewarna alam yang dikembangkan UNS dalam proses tersebut yakni antosianin dari bunga rosela dan bunga mawar.

“Bahan pewarna alami serapannya cukup mengkaver sehingga bisa membangkitkan material untuk mengalirkan arus,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Bahan dan Komponen Mikroelektronika LIPI, Goib Wiranto, mengatakan penelitian tersebut sebagai upaya mencari sumber energi terbarukan nonfosil untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin banyak.

“Kami mencoba memanfaatkan energi matahari menjadi energi listrik melalui sel surya berbasis pewarna yang cukup murah dan mudah diaplikasikan,” jelasnya.

Advertisement

Menurut Wiranto, teknologi pembuatan sel surya berbasis pewarna cukup murah dengan  perbandingan mencapai satu persen dari sel silikon. Selain itu, sel surya silikon membutuhkan ruang khusus dan alat deposisi yang cukup mahal, sedangkan sel surya berbasis pewarna bahkan bisa dilakukan di home industry.

“Memang ada kelemahan dalam segi umur tidak selama sel silikon tapi keunggulannya DSSC dalam cahaya lemah masih bisa menghasilkan energi,” lanjut Wiranto.

Penelitian DSSC atau sel surya berbasis pewarna dilakukan pertama kali oleh Michael Gratzel pada 1991. Dalam riset tersebut Kemendikbud menggandeng sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia antara lain Universitas Sebelas Maret (UNS), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Teknologi Sepuluh November (ITS), Universitas Ma-Chung dan lainnya.

“Kami berharap dalam waktu kurang dari 10 tahun dari pengembangan ini sudah bisa dinikmati hasilnya. Tapi prosesnya memang bertahap dari lampu LED, charger handphone, lampu taman dan terus meningkat,” pungkas Syaifudin.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif