Teknologi
Minggu, 5 Februari 2023 - 14:08 WIB

Sejarah Hujan Buatan di Indonesia, dari Pertanian hingga KTT G20

Akhmad Ludiyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi hujan buatan (GuruAmir)

Solopos.com, JAKARTA-Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Desember 2022 lalu meminta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melaksanakan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) hujan buatan di wilayah Jawa Barat.

Untuk itu, BRIN bersama dengan BNPB, BMKG, dan TNI-AU melakukan operasi TMC untuk mengantisipasi cuaca ekstrem di Jawa Barat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi intensitas curah hujan selama periode Nataru.

Advertisement

Pada saat itu, operasi TMC difokuskan pada tiga titik rawan banjir jalur transportasi darat di area Pantura, yakni di Jembatan Cipunegara, km 136, dan km 151 ruas Tol Cipali.

Dalam operasi TMC tersebut, BRIN mengerahkan 15 personel peneliti dan perekayasa. Setiap hari, tim operasi TMC merencanakan enam sorti penerbangan penyemaian awan. Namun, aktualnya menyesuaikan dengan seberapa tinggi potensi hujannya.

Advertisement

Dalam operasi TMC tersebut, BRIN mengerahkan 15 personel peneliti dan perekayasa. Setiap hari, tim operasi TMC merencanakan enam sorti penerbangan penyemaian awan. Namun, aktualnya menyesuaikan dengan seberapa tinggi potensi hujannya.

Saat pelaksanaan operasi TMC, tim juga mencoba untuk mendistribusikan curah hujannya. “Artinya, tidak mungkin meniadakan hujan sama sekali kalau potensi ancamannya sudah sedemikian tinggi. Tapi kita akan mencoba mengupayakan meredistribusi curah hujannya, baik secara spasial, maupun temporal,” jelas peneliti BRIN tersebut, dikutip Solopos.com dari situs Indonesia.go.id

Waktu terbang hanya sejak pagi sampai dengan batas matahari terbenam, sekitar pukul 17.15 WIB. Hal ini mengingat penerbangan modifikasi cuaca merupakan penerbangan berisiko tinggi.

Advertisement

Total kru yang dilibatkan berjumlah 22 orang. Sampai dengan Kamis (29/12/202), garam yang disemai kurang lebih 8,8 ton, dengan jumlah jam terbang 20 jam dalam 12 sorti. Setiap sorti penerbangan, pesawat Cassa membawa 800 kg garam.

Dari pantauan, rata-rata pergerakan angin saat ini dari barat ke utara. Oleh karena itu, Tim TMC mempercepat pertumbuhan awan dengan penyemaian garam, sehingga pertumbuhannya berada di wilayah laut khususnya di Selat Sunda. Dengan begitu, hujannya diturunkan di sana, sehingga tidak sempat masuk ke daratan. Hal serupa juga diterapkan wilayah Jawa Barat bagian selatan.

TMC bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak 1977, proyek yang dulu lebih dikenal dengan istilah hujan buatan itu sudah dimulai. Ide itu muncul, saat Presiden Soeharto melihat pertanian di negara Thailand yang cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena suplai kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.

Advertisement

Kemudian, Presiden Soeharto pun mengutus Menristek BJ Habibie untuk mempelajari TMC. Pada 1977, proyek percobaan hujan buatan dimulai, Waktu itu pelaksanaannya masih didampingi asistensi dari Thailand.

Jadi memang awalnya TMC ini dipelajari di Thailand, lantas diaplikasikan di Indonesia. Fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi.

Kepala Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN Budi Harsoyo menyebutkan, setelah melakukan percobaan hujan buatan 1977, baru tahun 1978 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri. Kala itu, proyek hujan buatan saat itu berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA).

Advertisement

Tahun 1985, berdiri UPT Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT nomor 342/KA/BPPT/XII/1985. Lalu pada 2015, mulai dikenal istilah teknologi modifikasi cuaca sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT 10/2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.

Terakhir, yakni pada 2021, setelah terintegrasi ke BRIN, kini pelayanan TMC berada di Laboratorium Pengelolaan TMC di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi.

Dalam satu dekade terakhir, frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat, baik kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir sehingga pengaplikasian TMC berkembang untuk memitigasi bencana.

Tren permintaan TMC kemudian meluas sesuai kebutuhan, seperti penanggulangan kebakaran hutan dan pembasahan lahan gambut, penangulangan banjir dan pengurangan curah hujan ekstrem, hingga pengamanan infrastruktur dan acara besar kenegaraan.

Pertama kali, operasi TMC yang bertujuan untuk mengurangi curah hujan diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang 2011, kemudian dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta pada 2013, 2014, dan 2020, MotoGP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G20 2022.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif