Teknologi
Kamis, 15 Oktober 2015 - 05:40 WIB

TIPS FOTOGRAFI : Fotografer dan Etika Foto Bencana

Redaksi Solopos.com  /  Septina Arifiani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi foto di tengah bencana (www.canto-photographer.com)

Tips fotografi mengajarkan bagaimana memotret di tengah bencana.

Solopos.com, SOLO – Merekam bencana tak bisa dikatakan mudah. Setiap musibah selalu melibatkan emosi yang muncul dari objek maupun sang fotografer itu sendiri. Di satu sisi fotografer bertugas menyampaikan informasi kepada publik. Sementara di sisi lain, mereka diharuskan berpegang teguh pada norma dan etika di tengah masyarakat. Mereka juga diharapkan menjadi penolong saat kejadian tersebut berlangsung.

Advertisement

Pewarta foto Jakarta Globe dan European Pressphoto Agency (EPA), Boy Tri Harjanto, mengatakan memotret peristiwa bencana bertujuan menyampaikan fakta lewat gambar untuk menarik simpati dari kalangan luas. Goal-nya adalah publik dan pemerintah dapat memberikan bantuan atau perbaikan setelah foto tersebut dipublikasikan.

“Saat memotret, utamakan kepentingan umum. Namun, saat objek/korban sudah merasa tidak nyaman, berhentilah. Jangan menghalangi evakuasi korban atau bahkan melakukan setting foto. Pemilihan objek harus dipikirkan, jangan serta merta menanggalkan etika, seperti memotret jenazah dengan frontal,” kata dia, saat berbincang dengan Solopos.com, Senin (12/10/2015).

Advertisement

“Saat memotret, utamakan kepentingan umum. Namun, saat objek/korban sudah merasa tidak nyaman, berhentilah. Jangan menghalangi evakuasi korban atau bahkan melakukan setting foto. Pemilihan objek harus dipikirkan, jangan serta merta menanggalkan etika, seperti memotret jenazah dengan frontal,” kata dia, saat berbincang dengan Solopos.com, Senin (12/10/2015).

Setelah memahami etika, Boy kemudian mengulas ihwal persiapan pendokumentasian bencana. Persiapan, sambung dia, menjadi penting lantaran sebuah musibah tak bisa diprediksi sebelumnya. Saat pemotretan berlangsung, seorang fotografer juga diimbau memperhatikan keselamatan diri.

“Standar operasional prosedur (SOP) mutlak dilakukan. Bencana apa yang akan didokumentasikan, siapkan peralatan sejak awal. Pelajari tanda alam, siapkan alat komunikasi, perhatikan petunjuk petugas yang berwenang, hingga peta jalur evakuasi adalah beberapa hal yang sebaiknya menjadi pedoman,” jelasnya.

Advertisement

“Ketika berada di lokasi bencana, petunjuk dari petugas bisa kita gunakan untuk mengambil langkah selanjutnya. Sementara informasi jalur evakuasi perlu diperhatikan agar jika sewaktu-waktu ada bencana susulan, kita bisa langsung mengevakuasi diri ke tempat aman,” terang dia.

Selain peralatan tempur, sambung dia, kondisi fisik juga tidak kalah penting. Seorang fotografer harus mampu menilai kemampuan diri agar tak merepotkan orang lain. “Medan bencana tak bisa diprediksi. Banjir, letusan gunung berapi, kebakaran, membutuhkan kondisi tubuh sehat. Asupan makanan harus dipikirkan, berikut perlengkapan keamanan diri. Misalnya, saat memotret gunung meletus, bawa masker, sepatu outdoor, topi, dan sebagainya. Begitu pula saat memotret banjir, jangan lupa memakai jas hujan,” ungkap Boy.

Jurnalis yang bertugas di Jogja dan Solo itu juga meminta para fotografer tidak melupakan partner utama pemotretan. Kamera, lensa, berikut printilan-nya harus dilengkapi peralatan pendukung agar tetap siaga dan prima saat digunakan.

Advertisement

“Seusai memotret hujan abu Gunung Kelud lalu membuat kamera saya harus masuk bengkel karena abu vulkanik, padahal sebelumnya sudah saya lapisi plastik. Peralatan sederhana untuk mengamankan kamera menjadi penting agar tugas pendokumentasian bencana tidak terkendala,” ujarnya.

Fotografer yang telah menerbitkan enam buku foto seputar bencana itu menyebut proses pendokumentasian bencana alam lebih sulit dilakukan. Momen yang tak tentu menjadi tantangan tersendiri. Terlewat satu detik saja, gambar apik tak bisa terekam. Sehingga, kesiap-siagaan menjadi kunci.

“Sebisa mungkin waspada terhadap setiap informasi yang masuk. Saya pernah stand by tiga hari di lokasi bencana untuk mendapatkan gambar terbaik dan hanya mendapat tak lebih dari 10 frame,” ujarnya.

Advertisement

Jika tak dapat menangkap momen saat peristiwa berlangsung, fotografer dapat mencari angle lain, misalnya dampak bencana. “Letusan Gunung Merapi pada 2010 terjadi saat malam hari. Otomatis, fotografer hanya dapat mengejar dampak letusannya. Begitu pula sesudah tsunami Aceh lalu, gambar yang paling banyak beredar adalah foto udara yang memperlihatkan dahsyatnya dampak bencana. Kejelian membingkai foto membuat pesan kepada publik dapat tersampaikan.” tandasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif